السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ  
 Marilah berdo'a sebelum belajar anak-anakku...
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا وَارْزُقْنِيْ فَهْمًا
رَضِتُ بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ رَبِّ زِدْ نِيْ عِلْمًـاوَرْزُقْنِـيْ فَهْمًـا
    
Langit di Wae Rebo
Oleh Diana Karitas
“Ayah! Gita baru saja melihat sebuah bintang jatuh!” seru Gita 
kegirangan. Wajahnya gembira sekali. Ia tetap saja memandangi langit 
yang penuh bintang malam itu.
Malam ini Gita untuk pertama kalinya menginap di sebuah kampung 
terpencil yang sangat terkenal akhir-akhir ini di penjuru negeri. Nama 
kampung itu adalah Kampung Wae Rebo yang terletak di ketinggian 1.200 
meter di atas permukaaan laut. Kampung itu adalah bagian dari Desa Satar
 Lenda, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa 
Tenggara Timur. Bersama dengan kedua orang tuanya serta beberapa orang 
lainnya, Gita bersemangat sekali menikmati petualangannya. Waktu dan 
tenaga yang ia habiskan untuk menempuh perjalanan mendaki menuju kampung
 itu cukup membuatnya beberapa kali hampir patah semangat. Namun, kini 
ia merasa tidak pernah menyesalinya. Pemandangan yang menakjubkan di 
kampung terpencil itu telah membayar semua kelelahannya.
 
Pada malam hari, Gita dan rombongan tinggal di rumah adat. Rumah adat 
tersebut disediakan penduduk kampung untuk para pengunjung. Salah satu 
hal yang selalu ditunggu para pengunjung adalah menikmati pemandangan 
langit Wae Rebo pada malam hari. Gita tidak mengeluh sama sekali ketika 
ia dibangunkan orang tuanya pada tengah malam. Gita dibangunkan kedua 
orang tuanya untuk melihat pemandangan langit dari kampung itu. Di 
langit Kampung Wae Rebo malam itu ada jutaan bintang bertaburan. Gita 
merasa kagum luar biasa.
“Ayah, mengapa baru kali ini Gita dapat melihat bintang sebanyak dan 
seterang ini? Mengapa Gita tidak pernah melihatnya ketika kita berada di
 luar rumah kita? Bukankah seharusnya kita dapat melihat bintang di mana
 saja?” tanya Gita tetap tak mengalihkan pandangan matanya ke langit.
“Pertanyaan menarik, Gita. Pertama, karena kita berada di ketinggian 
yang cukup untuk dapat mengamati bintang di langit. Dibandingkan rumah 
kita yang berada di dataran yang lebih rendah, tempat ini memang 
memungkinkan untuk bisa mengamati benda-benda langit dengan lebih 
jelas,” jawab Ayah.
“Ya, tadi Gita mendengar pemandu kita menjelaskan tentang ketinggian 
tempat ini. Memang tinggi sekali ya, Ayah. Gita tadi hampir tak ingin 
melanjutkannya,” kata Gita bangga.
“Terus, yang kedua apa, Ayah?” tanya Gita tidak sabar.
“Ayah baru mau menjelaskan, kamu sudah memotong,” tawa Ayah. “Ayah tahu 
kamu sangat bersemangat dengan semua ini, Gita!” kata Ayah sambil 
mengusap kepala Gita. Gita tertawa, sambil tetap menatap langit.
“Yang kedua, kita tidak dapat melihat benda langit dengan jelas bila di 
sekeliling kita terlalu banyak cahaya. Para ilmuwan menyebutnya sebagai 
polusi cahaya,” jelas Ayah lagi.
“Polusi cahaya? Ayah, Gita tidak pernah mendengar tentang polusi cahaya.
 Setahu Gita yang ada hanya polusi udara, air, dan tanah. Apa itu polusi
 cahaya? Mana bisa?” tanya Gita memotong penjelasan Ayah lagi. “Oh, 
Gitaku sayang. Ayah masih hendak menjelaskannya, terus saja kamu 
potong,” tawa Ayah keras-keras.
“Maaf, Ayah. Gita hanya heran,” Gita ikut tertawa. “Tak mengapa, anakku.
 Ayah senang kamu ingin tahu tentang hal-hal yang ada di sekitarmu. Ayah
 yakin kamu tidak akan bertanya jika tidak melihat bintang-bintang itu. 
Ini pengalaman menarik, kan!” goda Ayah.
“Ayah teruskan, ya. Polusi cahaya adalah suatu keadaan ketika cahaya 
berpendar terlalu banyak, bahkan berlebihan. Cahaya itu bisa berasal 
dari sumber cahaya buatan seperti lampu, atau cahaya alami. Akan tetapi,
 sumber utama polusi cahaya berasal dari sumber cahaya buatan. 
Contohnya, lampu-lampu yang biasa digunakan sebagai penerang jalan, papan
 iklan, lampu dekorasi, lampu gedung, lampu kendaraan, dan lainnya. 
Pendaran cahaya ini dapat menghalangi kita untuk melihat benda-benda 
langit,” jelas Ayah. “Nah, sekarang kamu perhatikan, apakah kamu melihat
 ada cahaya buatan di sekitar sini kecuali cahaya di rumah-rumah adat 
yang disebut Mbaru Niang itu? Hampir tidak ada cahaya, bukan? Dan kalau 
Gita ingat, di sepanjang perjalanan menuju kampung ini, yang kita lihat 
hanya hutan belantara, tidak tampak ada rumah tinggal, dan jauh dari 
jalan raya. Kita berada di tengah hutan yang gelap. Maka, hampir tidak 
ada cahaya buatan di sekitar sini. Apakah kamu sekarang mengerti?” tanya
 Ayah.
 
“Oh, begitu, Ayah. Wah, kita bersyukur sekali bisa menikmati pemandangan
 ini, ya, Ayah! Kita dapat melihat bintang-bintang ini, sungguh indah!” 
seru Gita. Ayah tersenyum dan meninggalkan Gita yang masih ingin melihat
 bintang di langit, sambil berharap dapat menyaksikan bintang jatuh 
malam itu.
  | 
Bintang Jatuh
  | 
Tahukah Kamu?
Jalan cerita atau isi cerita atau alur cerita disebut dengan plot. Plot 
merupakan salah satu bagian tulisan fiksi yang sangat penting. Plot atau
 alur cerita berisi tentang peristiwa-peristiwa yang mempunyai hubungan 
satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini akan membentuk satu kesatuan 
cerita yang utuh. Biasanya, alur cerita dalam cerita fiksi dibagi 
menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal, tengah, dan akhir. Bagian awal 
biasanya berisi tentang pengenalan tokoh dan masalah. Bagian tengah 
biasanya berisi tentang masalah dan konflik dalam cerita. Sedangkan 
bagian akhir biasanya menceritakan tentang penyelesaian masalah dari 
cerita tersebut.
 
 
 Jawablah pertanyaan dibawah ini ya!
- Tuliskan nama tokoh yang ada dalam cerita!
 -  Dimana latar cerita ini berada?
 - Tuliskan karakter dari Gita! 
 - Menurutmu bagaimana karakter Ayah? 
 - Mengapa Gita tidak menyesal untuk pergi ke kampung Wae Rebo meskipun perjalanannya melelahkan?
 - Dimana Gita dan orang tuanya tinggal ketika berkunjung ke Wae Rebo?
 - Dimana lokasi Wae Rebo? 
 - Apa yang menyebabkan langit Wae Rebo bertaburan bintang-bintang?
 - Tuliskan penyebab dari polusi cahaya!
 - Apakah di rumahmu bisa melihat bintang-bintang?