---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ia adalah Dokter Rana, seorang dokter muda yang sederhana dan terampil.
Ayahnya adalah mantan kepala desa kami yang telah meninggal dunia.
Dokter Rana baru kembali ke desa kami dua tahun yang lalu, setelah
sepuluh tahun lebih merantau ke ibukota. Ia memperoleh beasiswa di
Fakultas Kedokteran dan setelah lulus ia praktik di Rumah Sakit Umum
Kabupaten.
Semenjak ia pulang dan praktik di balai kesehatan desa, aku sering
mendengar perbincangan warga yang heran atas keputusan Dokter Rana
untuk kembali ke desa. Bukankah penghasilan sebagai dokter di kota jauh
lebih besar?
Kepada ayahku, Dokter Rana bercerita bahwa cita-citanya menjadi
dokter dulu muncul karena melihat kesadaran hidup sehat masyarakat
desa yang sangat rendah. Sungai dipakai untuk mandi cuci kakus, lalu
airnya dikonsumsi. Hasil bumi dan peternakan tidak dimanfaatkan untuk
membentuk pola makan sehat. Warga lebih suka menjualnya ke kota dan
uangnya digunakan untuk membeli makanan instan.
Selama praktik di kota, Dokter
Rana terbayang terus kondisi
desanya. Ia merasa bahwa
seharusnya ilmu yang dimilikinya
sebagai seorang dokter dapat
bermanfaat untuk kampung
halamannya sendiri.
Sejak pulang, Dokter Rana
memang aktif membina para remaja dan keluarga muda. Ia memberikan
penyuluhan tentang pentingnya mencuci tangan, memasak air, pola
makan sehat, dan imunisasi. Baginya, generasi muda adalah perantara
terbaik untuk menyampaikan misi meningkatkan kesadaran hidup sehat
masyarakat desa.
Sebagai anak kepala desa, Dokter Rana sering mendengar cerita
almarhum ayahnya bahwa banyak warga takut berobat karena tidak
mampu membayar. Tak ingin hal ini terjadi, maka diumumkannya bahwa
warga dapat membayar jasanya dengan sampah. Ya, sampah! Sampah
kering jenis apa saja yang dapat didaur ulang. Botol plastik, botol kaca,
koran bekas, bahkan kemasan bekas, diterima oleh Dokter Rana. Cara ini
membuat warga aktif dan bijak mengelola sampah. Sungguh kreatif dan
cerdas cara Pak Dokter mendidik warga.
Seperti mendiang ayahnya, Dokter Rana menjadi sosok yang dicintai
warga desa. Ia menjadi teladan melalui dedikasi, tanggung jawab, dan
kerendahhatiannya dalam menolong warga. Apabila aku besar nanti, aku
ingin seperti Dokter Rana. Akan kukejar cita-citaku menjadi guru dan aku
akan kembali untuk membangun kampung halamanku.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hebat sekali bukan dokter Rana? namun ternyata Indonesia di bidang kesehatan kalah bersaing dengan negara ASEAN lho, dan lebih banyak orang memilih berobat ke luar negeri
Indonesia Services Dialog (ISD) mencatat pada 2016 bahwa jumlah orang Indonesia yang melakukan pengobatan ke luar negeri meningkat hampir 100 persen selama 10 tahun terakhir. Diketahui pada 2006 terdapat 350 ribu pasien asal Indonesia yang berobat ke luar negeri, dan jumlahnya bertambah hingga 600 ribu pada 2015.
Pada akhir tahun 2018 lalu, tokoh agama Ustaz Arifin Ilham sempat dirawat di sebuah rumah sakit di Penang Malaysia, akibat kanker kelenjar getah bening yang dideritanya. Dilansir dari Liputan6.com, beberapa saat lalu diberitakan bahwa Shakira Aurum, putri tunggal artis Denada Tambunan juga tengah menjalani pengobatan di Singapura akibat penyakit kanker darah atau leukemia. Tak hanya Ustaz Arifin Ilham atau Denada, warga Indonesia lainnya pun kerap memilih berobat ke luar negeri. Fenomena ini pun dibuktikan oleh sejumlah data yang dihimpun oleh berbagai instansi.
Berbagai survei membuktikan
Indonesia Services Dialog (ISD) mencatat pada 2016 bahwa jumlah orang Indonesia yang melakukan pengobatan ke luar negeri meningkat hampir 100 persen selama 10 tahun terakhir. Diketahui pada 2006 terdapat 350 ribu pasien asal Indonesia yang berobat ke luar negeri, dan jumlahnya bertambah hingga 600 ribu pada 2015
Dari jumlah tersebut ditemukan total pengeluaran pasien berkewarganegaraan Indonesia sebesar 1,4 miliar dolar Amerika Serikat (setara dengan 18,2 triliun rupiah). Tiga negara yang menjadi pilihan lokasi pengobatan oleh pasien tersebut adalah Malaysia, Singapura dan Thailand. Bahkan, sekitar 2/3 orang Indonesia tercatat berobat ke Malaysia.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Nik Yazmin Nik Azman selaku Chief Commercial Officer dari Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC). Menurut data yang dihimpun oleh MHTC, terdapat sekitar lebih dari 670 ribu warga Indonesia yang berobat di Malaysia sepanjang 2018.
“Pasien dari Indonesia yang cukup banyak berobat di Malaysia menjadi fokus kami dalam menyediakan pelayanan. Bisa jadi, banyaknya pasien yang datang dari Indonesia dikarenakan kesamaan budaya dan kedekatan geografis,” ucapnya.
Tak hanya dari MHTC, sebelumnya pada 2012, Kementerian Kesehatan RI pernah melakukan survei perihal hal ini, dan menemukan bahwa sebanyak 12.000 orang Indonesia setiap tahunnya berobat ke Malaysia.
Selain Malaysia, Singapura juga menjadi negara yang cukup populer dipilih sebagai tujuan pengobatan oleh masyarakat dari berbagai belahan dunia, salah satunya oleh warga Indonesia.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Bloomberg pada 2014 pun menunjukkan bahwa Singapura berada di posisi pertama negara dengan pelayanan kesehatan paling efisien. Negara ini bahkan mengalahkan popularitas negara superpower Amerika Serikat dan negara Asia berekonomi kuat seperti Jepang dan Hongkong.
Pada dasarnya, fasilitas dan teknologi di Indonesia sudah terbilang memadai untuk pengobatan. Hanya saja, stigma yang terlanjur tertanam di sebagian besar masyarakat adalah pengobatan di luar negeri jauh lebih baik. Hal ini turut diamini oleh dr. Fiona Amelia MPH dari Klikdokter.
Menurutnya, rata-rata orang memilih antara Malaysia dan Singapura sebagai tujuan pengobatan karena letaknya yang tak terlalu jauh dari Indonesia. “Dua negara yang paling populer adalah Malaysia dan Singapura. Tapi, dari segi biaya Malaysia lebih murah,” ucapnya.
Nah, berikut ini adalah beberapa alasan mengapa orang Indonesia kerap memilih negara lain untuk menjalani pengobatan:
1. Akses informasinya lebih mudah
Rata-rata situs rumah sakit di luar negeri, terutama Malaysia, Thailand dan Singapura, cukup responsif dalam menanggapi pertanyaan dari calon pasien. Bahkan, beberapa rumah sakit menawarkan paket khusus turis yang ingin berobat, dari segi penginapan hingga transportasi.
Sehingga, orang merasa mendapatkan informasi yang lebih lengkap seputar prosedur maupun biaya pengobatan. Hal inilah yang terkadang luput dari perhatian sebagian besar rumah sakit di Indonesia.
Selain itu, disampaikan oleh dr. Fiona, ada beberapa negara yang sudah fokus pada medical tourism seperti Thailand dan Malaysia, sehingga akses informasi seputar pelayanan kesehatan pun semakin mudah. Indonesia sendiri belum menerapkan sistem ini.
2. Fasilitas lengkap dan teknologi mutakhir
Jika dilihat dari segi fasilitas dan kemajuan teknologi, sebenarnya Indonesia sudah memilikinya. Hanya saja, memang belum semua rumah sakit dapat mengikuti perkembangan teknologi tersebut.
“Hal ini lebih dilihat dari sisi pertumbuhan penduduk. Indonesia sendiri pertumbuhannya cukup tinggi, sehingga memunculkan berdirinya rumah sakit untuk berbagai kalangan kelas ekonomi. Efeknya, belum semua rumah sakit bisa memiliki fasilitas yang optimal,” ucapnya.
Hal ini berbeda dengan jumlah rumah sakit di negara yang menerapkan program medical tourism. Karena jumlah rumah sakitnya sedikit, maka pemerataan dari segi pemenuhan fasilitas dan teknologi pun lebih mudah.
3. Akreditasi internasional
Sebagian besar rumah sakit di negara tujuan berobat telah memiliki akreditasi melalui instansi yang menaungi seputar kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit seperti Joint Commission International (JCI), International Organizational Standardization (ISO) 9000. Dengan demikian, label sertifikasi internasional pun pada akhirnya membuat orang lebih percaya dengan kualitas pelayanan yang ditawarkan.
Menurut dr. Fiona, sebenarnya ada beberapa rumah sakit di Indonesia yang telah memiliki sertifikasi tersebut. Namun, memang belum merata dimiliki semua rumah sakit. Selain itu, perihal sertifikasi juga belum terlalu terlihat, sehingga tak banyak orang yang mengetahuinya.
4. Biaya lebih murah
Dari segi biaya, Malaysia termasuk negara dengan biaya pengobatan termurah bagi warga Indonesia dibanding negara lainnya seperti Singapura. Hal ini turut dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi penduduk yang tidak terlalu tinggi dan diikuti pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil.
5. Sekaligus jalan-jalan
Tak bisa dimungkiri bahwa rata-rata warga Indonesia yang menjalani pengobatan di luar negeri biasanya sekaligus traveling atau jalan-jalan. Jadi, orang Indonesia memilih destinasi berobat juga sekaligus ingin menyegarkan pikiran dengan pergi sejenak ke negara lain.
Selain kelima poin di atas, dr. Fiona mengatakan bahwa dua hal yang sangat diperhatikan oleh negara yang menerapkan medical tourism adalah soal keamanan pasien dan standar pelayanan tenaga medis.
“Di negara yang fokus pada medical tourism punya standar keamanan dan pelayanan pasien yang sangat ketat. Misalnya, pasien yang rentan jatuh diberi gelang berwarna khusus agar lebih diperhatikan. Atau, untuk pasien leukemia, sterilisasi alatnya lebih diperhatikan,” imbuhnya.
Jadi, tak heran mengapa warga Indonesia banyak yang memutuskan untuk berobat ke luar negeri. Nyatanya, beberapa negara memang tergolong lebih siap untuk menerima turis yang datang khusus untuk menyembuhkan penyakit lewat program medical tourism.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh pertumbuhan populasi yang stabil juga turut “mengangkat” negara-negara tersebut sebagai destinasi medical tourism. Bagaimana dengan Anda, lebih pilih berobat ke luar negeri atau di Indonesia saja?
Jawablah pertanyaan dibawah ini ya!
- Negara mana saja di ASEAN yang banyak dikunjungi orang Indonesia untuk berobat?
- Mengapa orang Indonesia lebih memilih berobat di luar negeri?
- Adakah kerugian negara yang ditimbulkan dari enggannya orang Indonesia berobat di negeri sendiri?
- Apa yang bisa kita lakukan agar tidak kalah bersaing dengan negara luar di bidang kesehatan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar